Pecut

“Bagaimana kabar S3nya?” tanya Mama Mertua. atau “Bagaimana kabar setelah bertemu dengan Profesor?” tanya Mama Saya.
Pertanyaan seputar itu sanggup membuat bibir Saya gugup menjawab. Sedangkan Papa-papa cenderung jarang atau tidak ingin menanyakan langsung pada Saya, mungkin karena sudah diwakilkan oleh Mama-mama.

Saya juga tak habis pikir mengapa lambat sekali kemajuan riset Saya. Padahal, segala konsep sudah ada di benak Saya menunggu eksekusi secara berkelanjutan sampai finish. Bukan ingin mengeluh, namun jujur, Saya tak bisa begitu saja mengabaikan tugas mengajar Saya dengan pengajaran yang minimalis. Ada rasa yang aneh ketika seharusnya Saya bisa menyampaikan ilmu dengan lebih baik namun tidak Saya lakukan. Ini tentang satu generasi. Walaupun Saya bisa memperbaikinya di tahun mendatang, tapi objek yang Saya ajar sudah berganti. Jadilah Saya selalu mengupgrade ilmu setiap kali akan mengajar, which is mengambil porsi waktu dan pikiran Saya. Mengapa Saya masih mengajar padahal seharusnya bebas tugas? Tentu Allah punya rencana memposisikan Saya dalam keadaan ini. Agar terlatih mengemban amanah yang sama penting? who knows.

Tak berhenti sampai meratapi nasib studi Saya yang sudah menuju ending tahun kelima, Saya terus berupaya memenuhi progress yang disarankan Pembimbing. Sampai pada suatu momen, Saya butuh ‘sesuatu’ untuk memecut semangat Saya lebih kencang lagi. Teringat kembali keberhasilan Saya empat tahun yang lalu saat berhasil lulus kualifikasi yang selalu digambarkan menyeramkan, Saya bahkan menjadi yang pertama di angkatan Saya. Saat itu, Saya dikondisikan dalam keadaan sudah terlanjur terjadwal (janjian dengan teman mengajukan proposal namun teman belum jadi mengajukan), sehingga dalam waktu dua minggu Saya mengejar progress sebanyak mungkin untuk disampaikan. Atau ketika lulus S1 dalam waktu 3,5 tahun. Saya terpacu oleh teman yang lebih dahulu mendaftar untuk maju. Apakah saat ini Saya sudah menemukan pecut Saya yang lain?

Mulanya Saya pikir pertanyaan orangtua maupun sekitar Saya akan bisa memecut Saya. Namun Saya belum menemukan rasa yang sama seperti dulu. Sampai pada akhirnya, saat bimbingan bersama promotor, seorang rekan satu promotor yang juga rekan dosen satu instansi maju lebih dulu mendahului Saya padahal berbeda satu tahun (Saya lebih awal). Saya pun merasakan ada semangat yang bangkit dari diri Saya, seolah inilah pecut Saya. Ya, Saya malu. Meskipun setiap riset memiliki kompleksitas dan modal yang berbeda dalam menjalaninya, serta tidak bisa dibandingkan, namun nasehat ‘menghibur’ suami yang Saya amin-kan bahwa “Ya, Beliau memang harus segera lulus, banyak pengorbanan selama masa studinya” justru “seperti menepuk air di dulang terpecik muka sendiri.” Dalam banyak kegiatan kampus (selain mengajar), Beliau memilih fokus pada studi. Hal tersebut merupakan salah satu pengorbanannya yang tidak bisa Saya lakukan. Belum lagi hal lainnya yang bersifat pribadi atau tidak diketahui umum. Pikiran Saya berkecamuk, sikap Saya pun harus lebih baik tentang hal ini karena pengorbanan saya juga ada dalam bentuk lainnya. Ya, semua pejuang di jenjang ini bisa dipastikan mengorbankan banyak hal dalam hidupnya demi menyelesaikan studinya. Di sanalah letak kearifan yang kemudian dapat dicapai di garis finish, bukan sekedar gelar doktor. Demikianlah Saya sekarang berjuang mengikuti semangat setelah terpecut oleh progress Beliau. Ternyata, tak selamanya membandingkan itu buruk, bergantung pada aksi apa yang kita ambil. Semoga laju Saya semakin kencang dan mencapai finish, setidaknya demi orang-orang yang Saya cintai. Bismillah.